Aku
berasal dari keluarga yang sederhana. Orangtuaku memiliki empat orang anak
perempuan semua dan aku adalah anak ke-3 mereka. Kakak pertamaku sudah menikah
dan memilki satu orang anak. Namun kehidupan rumah tangganya masih bergantung
pada ayahku. Sedangkan kakak ke-2 ku masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di
kota kami. Adikku tahun ini akan melanjutkan sekolah di SMA. Sementara aku? Aku
adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Aku sering berdiskusi dengan ayah mengenai
masa depanku, mengenai jurusan apa yang seharusnya aku pilih kala aku masuk
keperguruan tinggi kelak. Suatu ketika aku berbicara kepadanya. “yah, aku ingin
sekali kuliah di jurusan kesehatan apalagi kedokteran, aku ingin menjadi
dokter. Bagaimana menurut pendapat ayah? “. “Bagus sekali cita-citamu nak, tapi
kamu tahukan? Kuliah dijurusan kedokteran itu membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Sementara gaji yang ayah punya tak seberapa nak, tak cukup untuk
membiayai kuliahmu.” Tutur ayah kepadaku. “kalau keperawatan gimana yah?” aku
melanjutkan pertanyaan. “nak, memang biayanya lebih murah. Tapi gaji ayah juga
tidak cukup, karena ayah juga harus membiayai kakakmu dan adikmu yang masih
sekolah”. Usai mendengar jawaban ayah aku merasa tak lagi punya mimpi. Seluruh
mimpi yang selama ini aku pupuk dalam seketika layu. Keesokan harinya saat aku
menginjakkan kaki digerbang sekolah. Aku melihat banyak sekali orang-orang yang
tersenyum bahkan beberapa orang dari mereka mengucapkan kata “selamat” kepadaku.
Aku bingung, ada apa sebenarnya ini? Jawabannya aku dapatkan setelah setengah
hari berada disekolah. Aku lulus.. aku mendapatkan beasiswa kuliah di lima
perguruan tinggi terkemuka di Jawa. Saat itu juga aku kembali merajut mimpi,
tersimpul dalam setiap rajutan doaku kepada Tuhan pengabul setiap doa. Diantara
lima perguruan tinggi itu ada sebuah perguruan tinggi yang sangat aku idamkan
dan berkat beasiswa yang aku dapatkan, maka aku berkesempatan mengikuti test
untuk mendapatkan beasiswa kedokteran disana. Namun yang dipilih hanya satu
orang dan aku bukanlah satu orang tersebut. Sekali lagi aku merasakan hampa
yang melebihi hampanya putus cinta. Selanjutnya aku kembali memupuk mimpi di perguruan
tinggi pilihan ke-2 ku. Aku memilih jurusan yang berhubungan dengan kesehatan
juga. Tapi ayahku kembali menasehati, “ayah ingin sekali melihat kamu menjadi
guru. Menjadi guru adalah pekerjaan mulia nak. Memberikan ilmu yang kita punya
pada orang-orang yang membutuhkannya. Pahalanya terus mengalir walaupun kamu
sudah tidak ada didunia ini lagi. Apalagi kamu adalah seorang perempuan.. yang
nantinya akan menjadi seorang ibu, kalau kamu menjadi guru maka lebih banyak
waktu yang kamu punya untuk keluargamu, pikirkan lagi keputusan mu nak..”.
Kata-kata ayah merasuk kedalam otakku dan berhasil membuat aku berubah pikiran.
Akhirnya aku memilih mengikuti test di perguruan tinggi khusus pendidikan. Aku memilih
mengikuti nasehat ayah demi membahagiakan orangtuaku. Bukankah sudah seharusnya
seorang anak membahagiakan orangtuanya?
Saat
matahari berjalan ke barat dan tenggelam ketika malam datang menjelang. Aku kembali melangkahkan kaki menuju sebuah
kamar yang sudah satu tahun menjadi tempat aku bernaung. Sebuah ruangan yang hanya
bisa menampung satu orang saja di dalamya, ditambah satu kasur, satu lemari,
buku-buku kuliah serta peralatan-peralatan yang biasanya dibutuhkan oleh anak
rantauan. Mungkin hanya kamar ini yang tahu tentang semua yang aku rasakan.
Tentang apa yang aku impikan dan tentang apa yang selalu ada dalam setiap doaku.
Jika boleh aku katakan, kala ini hidupku masih dibayang-bayangi dengan mimpi
yang tak mampu aku raih, mimpi yang seharusnya sudah mampu aku buang jauh. Saat
aku merasa lelah dengan apa yang aku jalani pikiranku seakan masuk dalam sebuah
mesin waktu yang berjalan kembali ke masa satu tahun yang lalu. Apakah ini
takdir yang engkau tuliskan untukku atau kah aku yang salah melangkah? Ya
Allah, bantu aku membahagiakan kedua orang tuaku dengan pilihan ini dan
diberikanlah aku keikhlasan dalam
menjalini hidu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar